Minggu, 08 Desember 2013

Catatan Pendakian Gunung Slamet 3,428 mdpl

Jangan bilang apa yang diberikan Indonesia kepada kita, tetapi pahamlah kawan apakah kita sudah mengenal negera kita Indonesia dengan kekayaan alamnya?? Gunung Slamet yang dikenal dengan puncak batuan vulkanis dan kawahnya yang menawan mempunyai keunikan keindahan yang tak ternilai bayangannya. Jalur Bambangan yang berada di Jawa Tengah adalah jalur umum yang sering digunakan pendaki, 8 Pos sebelum puncak adalah tantangan bagi pendaki itu sendiri.


Akan tetapi pada ekspedisi pendakian gunung Slamet kali ini, saya dan teman-teman TRIPALA mengambil jalur pendakian "Dukuh Liwung Guci". Jalur termudah menurut salah dua orang teman yang sudah survei sebelumnya. Seperti ke-khasan TRIPALA dari sebelum-sebelumnya dalam mendaki, kita kembali sepakat untuk melakukan pendakian di malam hari.

Pukul 7.30 pm waktu Indonesia bagian barat rombongan sampai di pos pendakian. Setelah menunaikan sholat maghrib dan Isya' secara jamak, seluruh jama'ah rombongan melaksanakan ritual makan malam yang tidak seperti biasanya. Hawa dingin kecamatan Guci kabupaten Tegal itu memang belum pernah kami rasakan sebelumnya.

Ritual singkat itupun selesai tidak lebih dari 15 menit. Acara selanjutnya adalah istirahat malam. Pendakian gunung yang super waww, ada istirahat malam sebelum mendaki. Tidak jadi masalah, kita memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya.

Tepat pukul 10 pm jama'ah dibangunkan. Persiapan singkat, minum-minum hangat, pengepakan tas masing-masing dilakukan sebagai langkah terakhir untuk meninggalkan pos pendakian "Dukuh Liwung".

Pendakian yang dilakukan di malam hari tentu berbeda rasa dengan pendakian yang dilakukan di siang hari. Dingin, gelap, ditambah beratnya mata terkadang jadi bumbu-bumbu yang mau tidak mau harus dinikmati selama pendakian. Sehingga terkadang banyak teriakan "putuss".. "Berhentii, belum nyambung" dan sebagainya. Saya dan beberapa teman yang waktu itu berjumlah sekitar tujuh (7) orang di garis depan pendakian bersama pemandu, meninggalkan diam-diam ketika yang dibelakang lebih banyak berhenti-nya daripada berjalan-nya. Bukan tidak ingin bersama, lebih cendenrung untuk mempercepat sedikit langkah saja.

Malam itu jadi malam yang paling indah kita rasakan. Hawa gunung Slamet berbeda dengan hawa gunung-gunung lain yang pernah saya daki sebelumnya. Ciremai yang sudah tiga kali, Tanggamus dan si Langgar setahun (lebih) lalu di Lampung, Merbabu di Boyolali beberapa bulan yang cukup lama walaupun tidak jadi sampai puncak. Hawanya tidak sedingin ini. Parah. Dua menit saja kita berhenti untuk istirahat, dinginnya nggak pakai nanggung. Makk nyess rasanya. Hahaha, berlebihan memang dalam penggambarannya. Tapi ini asli, tanpa rekayasa.

Jalur pendakian "Dukuh Liwung" memiliki pos yang tidak sebanyak pos pendakian "Bambangan". Sedikit, jarak antar pos juga tidak terlalu jauh. Kecuali dari pos 1 menuju pos 2 itu terjauh dirasa oleh masing-masing pendaki malam itu. Jalur yang ditampilkan pun kurang begitu melelahkan, terkadang melewati turunan. Tidak lazim memang, ndaki koq yyo ada turunan. Itulah Slamet, sama seperti Ciremai jika melalui jalur pendakian "Apuy" sering menampilkan jalur turunan yang membuat pendakinya kadang kesenengan.

Singkat saja, waktu subuh rombongan baru sampai di pos 5. Masih harus melewati 2 pos lagi untuk sampai pada puncak tertinggi Jawa Tengah ini. Beberapa rombongan yang sduah sampai lebih awal segera ber-tayamum untuk melaksanakan sholat. Suasana shubuh yang kali itu menjadi lebih syahdu dari shubuh-shubuh para penduduk yang sholat di masjid. Kicauan burung gunung yang sudah mulai terdengar, sedikit suara si jangkrik yang tidak mau kalah, gesekan dahan-dahan pohon merdu, dan hembusan angin Slamet yang beberapa kali menghasilkan ritme indah di telinga kita, men-syahdukan lebih dari kesyahduan suasana lain. Setelah usai, meminum air yang tidak banyak, saya dan beberapa teman yang diajak melanjutkan perjalanan. Sementara rombongan lain masih bergantian untuk melaksanakan sholat.


Sudah pos ke 6, gambaran jalur pendakian terlihat mulai beda dari jalur-jalur dibawahnya. Menampilkan pepohonan besar, yang banyak tumbang dan terbakar, tanah yang agak kehitam-hitaman karena banyak terpengaruh oleh terbakarnya si pohon-pohon besar. Jalur yang sudah mulai cepat membuat sesak di dada. Sudah lebih cepat lelah jauh dari sebelum-sebelumnya. "Haaah", bunyi nafas teman-teman pagi itu. Sama, seirama. Rombongan jadi cepat untuk istirahat, 7 menit istirahat. Kadang tidak sampai. Mulai ada rasa ragu untuk melanjutkan walaupun puncaknya sudah lebih jelas terlihat. Mulai terlihat raut wajah teman-teman yang menampakkan ketidaksanggupan untuk lanjut. Berat. Sejenak seorang teman melihat sekilas, lalu mencoba menyemangati. "Ayyo lanjut, bentar lagi itu. Puncaknya udah terang!!"

Rombongan pun mulai berlanjut dengan fisik yang sudah kadung melemah. Tapi perlu kalian ingat kawan... Pendakian itu bukan hanya masalah kuatnya fisik saja, melainkan hati yang didalamnya berisi keyakinan. Semakin kuat keyakinan, semakin besar peluang untuk berhasil didalam mendaki. Fisik cenderung lebih hanya mengikuti.



Mulai memasuki pos 7, pos terakhir. Rombongan meninggalkan pemandangan pohon-pohon besar yang tumbang, terbakar. Untuk kali ini, gambaran jalur pendakian lebih terlihat menyeramkan. Sejauh mata memandang, untuk dapat sampai di puncak harus melewati bongkahan batu-batu gunung Slamet yang terlihat cukup lumayan. Massanya yang berat, banyak ukuran, bentuk tidak beraturan, dan mudah tergelincir jika kita tidak hati-hati menginjak. Apalah arti kesusahan yang semakin terlihat ini kawan. Rombongan pun maju, terdengar beberapa teriakan penyemangat untuk segera sampai dipuncak yang sudah terlihat tidak terlalu jauh lagi.

Matahari yang muncul terlebih dahulu karena kita izinkan karena keterlambatan ini, juga menjadi teman perjalanan untuk melewati jalur terakhir. Udara Slamet yang mulai hangat, sedang pendakinya masih belum sampai di puncaknya juga. Tidak apa-apa, justru hal ini yang menjadi pembeda dengan suasana pendakian sebelumnya. Yang biasa menargetkan untuk sudah sampai sebelum matahari terbit.


Puncak gunung Slamet yang sudah tidak jauh lagi itu benar, track pendakian yang terlalu curam yang akhirnya tidak membenarkan sepenuhnya. Jauh merasa lebih lelah dan lelah juga lelah dari sebelumnya. 3 kali lipat rasa lelah, begitulah. Pos terakhir yang dikira sebelumnya hanya mengunyah waktu 30 menit saja, ternyata jauh dari kebenaran. 30 menit berjalan, masih di setengahnya. "Huuuhh", terdengar tidak banyak yang menggerutu.

Pada akhirnya.. Siapa saja yang bertekad, mengusahakan dan berdoa untuk apa-apa yang ingin dituju, insya Allah akan mendapatkan apa-apa yang dituju tersebut karena izin-Nya, juga karena tekad, usaha dan kesungguhan atas doa-doanya.

Yah.. Sampailah kita di puncak gunung tertinggi Jawa Tengah dengan berbagai rintangannya, peluh yang dihasilkan karenanya, pengorbanan fisik yang tidak sedikit untuk berhasil sampai pada keindahannya. Slamet. Inilah pendakian yang benar-benar sudah terjadi... Bersyukur kepada Allah Yang sudah Menciptakannya, berterima kasih kepada Indonesia yang di amanahkan untuk memilikinya, juga kepada teman-teman karena sudah berusaha untuk mengusahakannya. Bersama-sama.

Allahu akbar.. Laa haulaa walaa quwwata illa billah.
Inilah Slamet, dengan ketinggian 3,428 m diatas permukaan laut.









Nb: Maaf kalau foto-fotonya terlihat lebih sangar :)
Sekian dan terima kasih..

3 Comments:

Anonim said...

Broww

Dzaky said...

yyow..

Anonim said...

saya mw tanya alamat e-mail nya ustadz slamet, punya gk?

anda kan skolah di al-es'af ,,

Statistic

Ads 468x60px

Featured Posts

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Social Icons

 

This Template is Brought to you by : AllBlogTools.com blogger templates